Cukupkah?



Pada sore ini, langitku terlihat lebih pudar dari biasanya. Gerombolan awan hitam berkumpul rapat, sementara di sisi lain angin menunjukkan taring-taringnya. Hawa dingin kian bersatu padu, membelai mesra sekujur kulit di tubuhku. Dan seketika... Derasnya hujan menghujam tanpa ampun ke sekujur bumi. Beramai-ramai merela terjatuh ke bawah seraya menjawab panggilan gravitasi

Maka disaat-saat seperti inilah terkadang pikiranku mulai berpetualang dengan liar ke masa lalu. Membuatku bersahabat dengan tatapan kosong pada salah satu sudut dikamarku. Seolah aku meresapi dan mengikuti jalan panjang yang dipersembahkan otakku. Memberikan perintah untuk mengingat kembali masa-masa bernama kenangan. Padahal selesai ku menerawang, aku tidaklah ingat tentang apa yang kuselami.

Hening.

Lalu kepalaku mulai terasa berdenyut-denyut, menimbulkan rasa nyeri yang cukup hebat.

Baru saja aku terjatuh dan kepalaku ini menghantam lantai keramik yang ada dikamarku. Sepertinya cukup keras, Sebab aku harus berdiam beberapa menit untuk menghilangkan kunang-kunang yang bermunculan di penglihatanku.

Kuraba kepalaku dengan perlahan, mencoba mengelus-elus dan mencari bagian yang terhempas dengan keras tadi.

Ahh aman. Tak ada darah.” Gumamku dalam hati.

Lalu bagaimana dengan memoriku? Apakah aku gegar otak? Ah, biar kupastikan dulu. Kucoba mengingat-ingat lagi kronologis yang baru saja kualami.

Saat itu aku sedang berjalan menuju kamarku. Dan tepat saat aku hendak masuk ke kamar, pintu rumahku menganga dengan lebar dan bersiap untuk menutupkan rahangnya. Menutup dengan kencang, seolah ingin mengenyahkan siapa saja yang nanti akan masuk ke dalamnya. 

Melihat hal itu, aku pun reflek berlari dan berusaha menahan pintu itu agar tak menutup dengan kencang...

*PLAAAK!*

Aku terjungkal diiringi suara lantai keramik yang beradu dengan belakang kepalaku.

Rembesan embun hujan yang menerobos melalui sela-sela pintu ternyata telah membuat basah lantai ini. Dan karena ketidakwaspadaanku, aku pun harus mengalami hal sial ini.

Sekitar beberapa menit aku terbaring di lantai ini tanpa ada satupun yang menolong. Sembari menghilangkan rasa pusing dan nyeri yang muncul, otak dan hatiku merasa seperti terpelatuk. Mengingat akan sesuatu hal yang terasa mirip dengan kejadian saat ini.

Ah, rasa sakit ini. Rasa nyeri ini.

Familiar!

Dulu, sewaktu aku masih SD aku sudah sering terjatuh dan menghantamkan kepalaku pada benda-benda sejenis lantai ini. Beton, keramik, dinding, dan masih banyak lagi.

Pernah ku terjungkal ke depan, dan dahiku membentur sisi tajam dari pilar yang berbentuk segiempat. Kuperjelas sekali lagi... Bukan terbentur dibagian datar dari pilar itu, tetapi di “bagian sudut” dari segiempatnya, kawan. Bocor? Jelas.

Andai kalian bisa melihat bagaimana seragam putihku berbalut dengan merahnya darah... Pastilah kalian juga bisa menyaksikan saat dimana aku masih tersadar dan histeris sembari melihat cermin.

Tapi yang paling sering adalah terpeleset sewaktu bermain di Mesjid saat hujan turun dengan derasnya, seperti saat ini. Selama SD mungkin aku sudah mengalaminya hampir 10 kali? Entahlah. Aku yang dulu memang anak nakal yang tidak pernah mengenal kata jera.

Tunggu dulu, masih ada satu hal lagi yang muncul saat sakit ini kurasakan. Perlahan, otak membawaku pergi ke beberapa saat yang lalu. Saat ku melakukan hal yang sungguh tolol. Sebuah pelarian yang kubuat dari diri sendiri, dimana dengan bangganya kubenturkan kepalaku ke dinding dikamarku. Berkali-kali. Sebisa mungkin sampai aku tak sadarkan diri.

Suara kepala yang beradu dengan tembok memberikan ketenangan di hati. Memecah keheningan mutlak yang sedari tadi tak menunjukkan jati diri.

Semakin lama bunyi benturannya semakin nyaring, semakin lama sakitnya semakin menjadi. Kepalaku terasa hampir pecah dibuatnya... Walaupun begitu, seringai dan senyumku semakin mengembang. Seberapa kuat aku bisa bertahan? Seberapa jauh aku bisa berjalan? Aku ingin ini lagi dan lagi, kalau perlu aku usahakan sampai ku tak sadarkan diri. Tanpa seorangpun yang perduli, aku meneruskan hal ini ibarat hobi yang giat kutekuni.

OHH BANGSAT. 

Rupanya ini yang daritadi mengusik hati. Nostalgia sakit yang kualami membawaku pada kenangan dimasa jahiliah. Aku ingat betul rasa sakit di kepalaku ini. Pedihnya, pusingnya, nyerinya, semuanya tak jauh berbeda dibandingkan dengan saat-saat itu.

Aku tidak mengelak jika aku masih ingin sembuh. Tenang ternyata memang lebih baik.

"Temui aku. Katakan jika aku akan baik-baik saja tanpamu." (Killua - HxH125)

Komentar

Terpopuler

Hari Yang Tak Biasa

Menghilang Sejenak

Musik x Cermin x Hidup