Ikatan Yang Renggang
Sudah hampir setengah tahun lebih hubungan gue sama si H
jadi agak renggang. Menjadi lebih hambar. Menjadi lebih sunyi dibandingkan biasanya. Menjadi lebih datar dari sebelumnya. Ada apa ini?
Jarak diantara kami yang notabene memang jauh, sekarang
semakin terasa bertambah jauh. Saat ini semuanya terasa tak lagi normal.
Gue pun mulai sadar, ini bukan perkara biasa. Kalo ini
dibiarkan, jarak diantara kami bisa melebar lebih jauh lagi. Semuanya bisa saja
hilang dan lenyap tak berbekas.
Sambil rebahan dikamar, gue mulai mencoba berpikir. Apa yang
salah diantara kami? Kenapa semuanya tidak terasa sama seperti sebelumnya?
Lalu gue tersadar, begitu banyak hal yang mulai
hilang diantara kami, lalu membuat beberapa hal yang seharusnya terisi menjadi
kosong. Kekosongan-kekosongan ini semakin lama semakin besar. Semakin meluas
dan menggerogoti kami.
Lalu hati gue mulai dilanda kegelisahan.
Memikirkan hal seperti ini disaat lagi kesepian gini
bener-bener ga bagus... Terasa agak getir, dan sesak.
Dimulai dari komunikasi yang tidak lagi terlalu intens,
tidak lagi menarik, dan membosankan. Seolah semuanya menjadi terlihat agak dipaksakan.
Gue coba liat message, chat, dan mention-mention terakhir
gue sama si doi. Dan ini benar-benar ga wajar. Tidak ada yang terlihat normal
didalam tulisan-tulisan yang kami buat.
Semuanya sarat dengan kejenuhan, kegaringan, dan tarian
keputus-asaan. Tentu gue berusaha menghangatkan kembali semua tulisan-tulisan
itu dengan berinisiatif duluan ngehubungin. Tapi tetap saja...
Lihatlah betapa pucatnya tulisan-tulisan yang gue terima.
Lihatlah betapa letihnya pesan-pesan yang gue kirim mencoba bercengkrama. Kita
membuat setiap hari menjadi siksaan bagi masing-masing diri kita sendiri.
Melemah dan semakin melemah. Ketidak pastian dan saling
mengacuhkan mulai menjadi sebuah kebiasaan. Ketidak pedulian dan kehampaan
menjadi hal yang bisa didiamkan. Lumrah untuk dijadikan kenyataan.
Dan semuanya terasa menyebalkan saat lu ditinggal begitu aja
didalam sebuah percakapan. Iya, ternyata Unfinfished Conversation mendominasi
tulisan-tulisan diantara gue dan si H. Itupun sudah usang, dan lapuk. Berjamur
dimakan waktu yang kekal abadi.
Tidak ada topik baru, karena semuanya adalah masih yang dulu. Sehingga
memaksa gue untuk membaca hal-hal yang tlah usang demi memuaskan dahaga rindu
yang kadang tak terbendung lagi.
SMS terakhir yang gue dapat adalah sekitar 1 bulan yang
lalu, dan itupun disaat gue ulang tahun. Dan saat gue melihat lebih jauh di
inbox gue, gue melihat pesan percakapan yang didominasi oleh pesan yang ga selesai.
Meninggalkan gue seorang diri, menunggu balasan yang entah sudah dia kirimkan ataukah belum.
Meninggalkan gue seorang diri, menunggu balasan yang entah sudah dia kirimkan ataukah belum.
Sakit rasanya saat menyadari kalo gue sering diacuhkan.
Diabaikan. Dan diasingkan oleh orang yang kita berikan semuanya itu. Dan ya...
Semuanya itu benar-benar sudah menjadi usang.
Situasi ini bisa diibaratkan bagai mobil yang sudah tidak
memiliki roda, tapi terus saja didorong sekuat tenaga oleh sesorang yang
terlihat putus asa, sementara yang seorang lagi duduk didepan setir mobil dan
menunggu. Berharap mobil yang memang mustahil bisa jalan ini menyala.
Dari sekian banyak pesan-pesan dan segala tulisan yang tidak
berbalas, ga satupun yang membuat gue marah ke dia ataupun protes langsung ke
dia. Entah kenapa gue Cuma bisa terkulai membiru, diam tanpa kata.
Pesan yang gue kirim malam tadi dengan topik A, dilanjutkan
oleh pesan yang gue kirim besok sore dengan topik B. Seolah lupa bahwa kita
masih punya topik A yang perlu untuk dibahas. Seolah ada unsur yang sengaja
dihapuskan diantara dua waktu malam dan sore.
Waktu yang cukup lama untuk dihabiskan menunggu sebuah
balasan pesan dari orang yang dicinta. Waktu yang cukup banyak untuk membuat
euforia kegembiraan membayangkan menerima pesan indah menjadi kadaluarsa. Cukup
untuk membuat hal yang positif berubah menjadi negatif.
Tragisnya, masing-masing pihak sepertinya tidak mempermasalahkan
hal yang seperti ini. Semuanya terlihat biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak
ada sedikitpun gue menemukan hal-hal seperti,
“Maaf ya kemarin aku ga balas, soalnya aku...”
Ataupun,
“Kok pesan aku yang kemaren ga dibalas sih? Aku nungguin
semalaman...”
Semuanya begitu tenang sampa-sampai bunyi tetes air bisa
terdengar dikejauhan. Begitu tenangnya hingga sulur-sulur kesunyian dengan
gagahnya mencekik leher ini. Sakit. Dan sesak.
Dan tanpa disadari, gue disini ngerasa benar-benar kesepian.
Membuat lu ga pengen nambah rasa kesepian lu dengan membuat
kesepian baru. Meski begitu, mencoba membuat percakapan yang sudah dingin agar bisa
menjadi hangat kembali itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Gue tau persis itu.
Disaat seperti ini gue Cuma bisa mikir, kenapa gue ga nanya
aja perihal tentang masalah ini? Karena menunggu itu cukup menyita waktu dan
pikiran, tentu boleh dong kalo gue protes ke si doi?
Kata demi kata gue coba rangkai. Skenario demi skenario gue
coba susun. Berusaha agar tulisan-tulisan hambar ini tidak berakhir dengan hal
yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tidak berakhir menjadi pajangan usang...
Entah kenapa semuanya percuma.
Gue tetap saja ga bisa. Ga bisa... Menanyakan hal seperti
itu... Memangnya elu siapanya dia? Penting banget ya buat ngebalesnya? Of
course you didn’t have to.
Lalu tinggallah tulisan-tulisan dan skenario-skenario itu
menjadi bacaan usang di hape gue. Sambil menyesali hubungan yang datar ini. Merindukan
hangatnya awal pertama kali kita bertemu. Berharap bisa memutar balikkan waktu
walau harus menukar nyawa.
Tapi semuanya tak bisa. Tak ada yang bisa dilihat disana. Bersedih
takkan bisa mengembalikan hubungan kita. Menangis pun sama.
Sementara itu, sekarang gue udah mulai malas untuk
menghubungi dia duluan. Gue capek. Gue juga kasihan sama diri gue sendiri...
Gue ga tega ngebiarin diri gue sendiri terjaga semalaman, hanya untuk sebuah
pesan singkat yang ga bakalan pernah gue terima.
Gue ga tega ngebiarin diri gue sendiri ngerasa lebih sakit
dari ini. Udah, cukup.
Gue yang sekarang hanya bisa menunggu. Menunggu untuk dia
ngehubungin dia duluan. Walaupun gue tau, ini semua pasti bakalan berakhir
tidak sesuai dengan harapan gue. Naif bukan?
Memang, ini ngebuat gue terlihat sangat gak jantan. Gue ini udah
layaknya anjing yang kelaparan, dirantai dan ditinggal oleh penghuni rumah
berwisata untuk selamanya.
Kondisi yang sangat rendah, dan hina. Cuma bisa hidup dengan
belas kasihan semata.
Terkadang gue mikir, apa guenya aja yang terlalu maksa? Saat
sebuah hubungan mencapai puncaknya, sudah pasti akan ada sebuah titik balik
dimana semuanya akan berubah. Tak lagi sama seperti sebelumnya.
Mungkinkah ini semacam titik jenuh?
Gue mencoba menerawang lebih jauh lagi.
Sudah 2 bulan lebih gue mengilang didunia maya. Dan tak ada
sedikitpun kabar dari dia yang khawatir, mencari keberadaan orang yang mungkin
saja berharga baginya. Atau mungkin sedikit penasaran dengan keberadaan orang
yang pernah dikenalnya, walaupun kini sudah bukan siapa-siapanya dia.
Tapi apa daya...
Semuanya terlihat biasa saja.
Berjalan dengan normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah
kenangan diantara kami itu hanyalah hiasan belaka. Seolah waktu dan memori yang
tersita ini tidaklah benar-benar nyata.
Padahal gue ingin sebuah akhir bahagia.
Walaupun hanya sebuah pesan yang menanyakan kabar gue,
ataupun sebuah mention yang menanyakan keadaan gue. Sedih.
Faktanya ini bukan dongeng, dan gue ga mendapatkan apa yang
gue inginkan disini. Semuanya gelap, hati gue gelap, penglihatan gue gelap.
Semuanya gelap. Sunyi sampai gue terasa pengen muntah. Muak melihat fakta yang
berlawanan dengan mimpi-mimpi gue.
Si H benar-benar apatis dengan kehidupan gue, sementara
disini gue sudah merendahkan diri gue serendah-rendahnya demi mengemis
perhatian. Mengemis agar dia bisa mengusir sepi yang menyeruak karena ditinggal
pergi oleh orang yang disayang. Ini sungguh kejam...
Padahal gue ga sampai hati membiarkannya mengemis perhatian.
Padahal gue ga sampai hati melihat dia kesepian.
Apa ini yang namanya pamrih didalam cinta? Mungkin saja.
Kegilaan gue untuk menjadi her Favorite Hello dan her Hardest Goodbye telah berubah menjadi hasrat untuk memiliki seutuhnya. Menjadi sebongkah benda yang egois tanpa berpikir tentang realita.
Entah sampai kapan gue bisa terus mendiamkan semua tindakan
apatis yang doi berikan ke gue. Jujur, diacuhkan oleh orang yang menjadi
segalanya ntuk kita rasanya benar-benar menyakitkan.
Untuk pertama kalinya,
seumur hidup gue, gue diacuhkan seperti ini.
I mean...
Bahkan si M (temennya doi) yang SERING gue acuhkan ga
pernah berhenti berusaha untuk mencoba berkomunikasi dengan gue. Dia ga pernah
berhenti berusaha untuk menanyakan kabar gue, ataupun mencoba untuk bertegur
sama dengan gue.
Dan T juga, dia bahkan nanyain keberadaan gue didunia
maya! Dia mention gue sambil mengutarakan kecurigaannya, kalo gue udah ganti
akun dan menghilang dari dunia maya.
Mereka berdua, temen-temennya si doi yang jauh disana, lebih
peduli daripada doi sendiri. Ini salah.
Benar-benar salah...
Memang.
Gue sebelumnya sering mengacuhkan orang-orang disekitar gue,
dan konsekuensinya gue juga diacuhkan oleh mereka. Tapi mereka yang tak punya
ikatan apa-apa dengan gue takkan bisa menyiksa gue dengan hal bernama kesepian.
Gue akan aman selama menganggap mereka bukanlah siapa-siapa
gue. Gue ga bakalan sakit kalo gue ga membiarkan orang lain menjalin hubungan
seperti sahabat, teman, dan hal lainnya. Itu Cuma bakalan memperparah keadaan.
Karena itu gue doyan banget menyendiri. Hidup individual
tanpa harus memikirkan perasaan orang lain. Terbukti, gue bisa hidup 3 tahun si
SMA tanpa mempermasalahkan keberadaan teman, sahabat, atau apapun itu.
Tapi dalam hal ini, semuanya berbeda. H bukanlah orang
biasa. Dia istimewa. Dia berharga. Dia adalah orang yang bikin gue sadar,
betapa indahnya hidup dengan memiliki sahabat dan teman-teman.
Karena dia jugalah gue bisa kenalan sama Tukimin, Febry, dan
Tio. Karena dia juga gue bisa punya hati, punya rasa toleransi, punya sisi
kemanusiaan, dan bisa meninggalkan kehidupan SMA gue yang menyedihkan.
Dan sekarang...
Entah sampai kapan gue akan terus-terus membaca pesan-pesan
usang diantara kami, membacanya hanya demi melepas dahaga kerinduan ini. Entah
sampai kapan gue bisa berdiam diri, menunggu sesuatu yang tak mungkin bisa
terjadi. Menunggu, menunggu, dan menunggu.
Entahlah.
Sebegitu tipisnya kah bayangan gue hingga keberadaan gue ga
diperdulikan lagi? Sebegitu rendahnya posisi gue didalam hidupnya?
Ternyata memang benar, jatuh cinta itu sebenarnya biasa
saja. Tidak ada yang istimewa.
Semua orang yang jatuh cinta itu sama...
Sama gila nya.
BalasHapus