Menghilang Sejenak
Lagi dan lagi. Terus kembali dan terus
terjadi. Berulang-ulang dan selalu berputar-putar tak menentu. Sulit dipahami,
sulit dicerna, dan sulit diterka. Ada
apakah yang terjadi?
Di dalam sebuah sunyi dan diam, ada terbentang jutaan
jarak dan jurang yang makin dalam. Aku terus mencari sebuah hal yang bisa
membuat sebuah persepsi positif, dan bisa membuang segala anggapan negative. Tapi
gagal. Nihil. Apa yang salah?
Seakan kau buat semua ini menjadi sebuah mustahil. Tak akan, dan
tak akan pernah bisa. Sekeras apapun dicoba. Hingga definisi dari kegigihanku adalah kesia-siaan yang telah sukses kau
cipta.
Dan sekarang yakin ku menjadi kian kokoh. Dirimu telah berbeda sepenuhnya. Sampai hilang dahaga dan
rasa hausku untuk mengenal cintaku. Hingga kadang tak tahan ku ingin bandingkan dirimu
dan dirimu.
Di masa lalu dan masa
sekarang.
Kau cintaku, sosok yang dirindukan,
sosok yang luar biasa, dan sosok yang sangat mengagumkan.
Berubah.
Menjadi sosok yang
menyakiti, sosok yang membebani, dan sosok yang meracuni diri.
Lucunya, disaat seperti ini aku malah berpuas diri. Bermodalkan senyum kecut sambil memutar
kenangan lawas momen dan memori tempo dulu.
Sekitar setahun yang lalu... Setahun, memang adalah waktu yang cukup panjang untuk bisa
membuat seseorang berubah. Berubah menjadi sosok yang baru. Membuat diri kita
sulit mengenalinya dengan 5 indera kita.
Asing, dan tak biasa.
Lalu sebenarnya ada apa? Apa yang
sebenarnya bersembunyi didalam kesunyian dan ketidakpedulian yang termakan
gengsi ini? Diam dan hening ini tidak biasa. Bukan suatu fenomena yang bisa kau
maklumi, lalu tersenyum dan menyikapinya dengan apatis.
Entahlah.
Semakin lama ku coba mendekatkan jarak yang ada ini, semakin ku merasa keringat ini bercucuran sia-sia. Entah kenapa jarak yang sebelumnya sudah mengecil, secara perlahan
kembali menjadi lebar dan renggang. Kita yang sebelumnya dekat, ditampar dan dihantam
dengan sosok masing-masing yang menjadi asing.
Siapa, apa, kenapa, mengapa, dan dimana.
Mari kita bersama-sama saling membuat
pertanyaan untuk diri kita masing-masing. Menjadikan kita berdua subjek
diantara dua pasang insan yang entah masih bersemayam di dalam otak
atau sudah sirna.
AKU: "Siapa aku saat ini? Apa yang terjadi
diantara kita? Kenapa ada perasaan mengganjal yang terasa disembunyikan?
Mengapa rasa tidak biasa ini menghilangkan segalanya secara perlahan? Dimana
sebenarnya posisi kita disaat ini?"
KAMU: "Siapa kamu saat itu? Apa yang sudah
membelokkan sosok-sosok yang sudah kamu kenal? Kenapa disini ada yang
mengacuhkan dan diacuhkan? Mengapa dulu dan sekarang menjadi sebuah perdebatan
yang tak kunjung terjawab? Dimana sebenarnya posisi dan letak kapal hati yang
sudah berlabuh?"
Komunikasi dengan intens yang semakin
berkurang semakin membuat diri bertanya-tanya. Membuat ribuan pertanyaan
retoris yang takkan terjawab oleh logika. Kita sama-sama diam, sama-sama
membisu, tak lagi seperti yang dulu. Segalanya dibuat menjadi tak jelas dan
serba bias. Semuanya semakin menjadi-jadi saat diam menjadi pilihan dan senjata
untuk dikonsumsi.
Lalu akhirnya datanglah sepi.
Lalu akhirnya datanglah sosok baru.
Lalu akhirnya ada yang ditinggal sendiri.
Lalu akhirnya serpihan ini menunggu hingga
membatu.
Lalu akhirnya hanya bisa mimpi, menunggu
hal yang tak pasti.
Dicerai beraikannya
pekarangan di hatiku, diratakannya rumah di harapanku,
dikurasnya kelenjar air di mataku, digoncangnya rusuh emosi
dijiwaku, dibakarnya seisi akal jiwa di otakku.
HANCUR LEBUR. MEMUAI, RUSAK
TAK BERBENTUK.
Lalu yang tersisa hanya kenangan.
Sisa.
Kenangan.
Hanya bisa mengenang sisa-sisa kenangan
tempo dulu,
dimana semuanya berdiri kokoh. Saling menguatkan dan saling menyempurnakan, membangun, tak malah menghancurkan.
Dan pada akhirnya hanya mengenang masa
lalu.
Saat
dimana engkau dan diriku tak ada perlu ragu tuk saling sapa, tak ada hantu cemas
ketakutan tak berbalas, selalu didera
nyaman yang hangat saat bercerita. Tak perlu menunggu
waktu yang tepat, tak perlu mencari waktu yang pas. Karena menghubungimu adalah terwujud kapan ku mau.
Selalu begitu.
Dihantui
serpihan-serpihan kenangan, membanding-bandingkan sosokkmu yang dulu dengan
yang kini. Padahal jauh dalam lubuk hati yang terdalam tiada sedikitpun ku rela, tiada ku ingin ini berubah. Terikat dengan rasa nyaman yang sudah membekas dan terukir, lalu ingin waktu
saat itu berhenti dan kita selamanya
begitu.
Egois memang.
Kejam memang.
Tentu saja ku tak seperti
itu. Ini bukanlah cerminan sosok ku. Tapi jelas, ini adalah interpretasi dari semua sikap dan tindakan
yang aku terpaksa
konsumsi.
Manusia yang rapuh, berlagak kuat dan mencintai senyum. Mengabaikan lainnnya hanya untuk seseorang yang tiada pasti.
Rugi besar, wahai diriku…
Akibatnya ku tertinggal sendiri. Aku terhisap kedalam
lubang hitam dan kehampaan, karena aku hanya seorang manusia biasa. Sekuat-kuatnya dia mencoba bertahan,
takkan bisa tanpa adanya dukungan.
Maka aku terbawa terbang layaknya debu-debu di kota.
Diacuhkan dan diasingkan, melayang entah tanpa tujuan. Pada saatnya nanti debu
ini hanya akan berakhir di sudut trotoar jalan, diterbangkan oleh angin malam
dan hilang disapu dinginnya hujan.
Selesai.
Hilang tanpa bekas dan takkan ada yang
menyadarinya.
Jika demikian maka wajar jika tanya muncul tentang apa
yang salah?
Apa yang tlah kuperbuat hingga ku pantas ditimpa semua ini?
Pertanyaan ini bagaikan sebuah pertanyaan
retoris yang pasti takkan pernah terjawab. Takkan bisa dijawab dengan logika,
takkan bisa dijawab menggunakan perasaan. Manusia yang satu ini terbatas,
walaupun dia berlagak hebat dan menganggap semuanya akan baik-baik saja.
Kasihan memang.
Saat orang yang dicinta merubah sikapnya, disaat itu pula terkadang bingung melanda. Bingung harus bertindak apa. Ibarat kapal yang tengah terombang-ambing
di lautan lepas, tanpa awak penumpang, tanpa nahkoda, dan diiringi badai dahsyat yang
siap saja menenggelamkan seluruh kapal.
Sering terasingkan, sering merasa sendiri,
sering merasa tak punya siapa-siapa.
Anggap saja tersesat. Karena sebelumnya
terbiasa diiringi oleh kompas yang bernama “kamu”. Lalu saat aku kehilangan
“kamu”, bingunglah diriku dengan tujuan sebelumnya. Bingunglah
diriku dengan janji-janji sebelumnya. Bingunglah diriku dengan
perasaan sendiri, sebenarnya diriku
ini dianggap apa?
Sebuah
tajuk bernama ilusi?
Sebuah
harapan yang terlampau tinggi?
Atau sebuah salah paham dari definisi saling menyayangi?
Lagi, akhirnya semua tulisan ini hanya
menjadi misteri dan retorika-retorika tanpa makna. Jawaban itu hanyalah mimpi.
Mimpi busuk.
Bersama-sama mimpi diriku menjelma
menjadi roh tak hidup dengan raga palsu yang sudah
membusuk.
Bila saja waktu bisa diputar, maka
inginku adalah menunjukkan semuanya sekali lagi untukmu. Agar tak lupa siapa sosokmu di waktu dulu. Agar diriku tak lupa, dengan sosokku yang dulu. Agar kita saling
mengingat, bagaimana kita bisa dipertemukan dan dipersatukan. Agar kita bisa ingat,
bagaimana kita bisa saling mengenal.
“Hahaha…”
Terdengar gelak tawa
pelan di ujung benakku yang suntuk.
Lagi-lagi kudapati diriku terpaku dengan masa lalu.
Payah.
Akhirnya jawabannya adalah lebih memilih diam, seolah tidak
terjadi apa-apa.
Ah, salah...
Yang diam adalah kita.
Menjadi korban kebisuan dan ganasnya
gengsi. Sayatan-sayatan pena, goresan
di lembar putih yang suci, tinta merah yang terkumpul, dan rasa perih yang tercipta menjadi solusi untuk
dipendam. Hingga pada akhirnya sakit adalah
hal biasa. Pelarian indah berkedok imaji
kepedihan.
Dengan hal yang demikian
pun ku tak mampu mengubah apa-apa. Dua-duanya memilih bisu
untuk jawaban dari pertanyaan masing-masing. Seolah tak tahu dan tak mau tahu.
Oh, bangsat kau keheningan…
Diam dan menunggu. Selalu seperti itu.
Sampai terasa memuakkan, sampai kuulangi
lagi membenturkan pikiranku di dinding antara kita. Setidaknya kan memberi warna oleh meronanya otak dan merahnya darah.
Jadi, sampai kapan?
Ratusan hari, ribuan jam, dan jutaan detik
yang udah kita lewati seolah hanya menjadi pengingat semakin melebarnya jarak
disini.
Maka kini sebagai
penonton kita lihat saja. Tuhan Yang Maha Adil ini
tidaklah buta, Dia melihatku. Dia melihat semua usahaku. Dia mendengar
doa-doaku. Dia tahu yang terbaik
untukku.
Tentu saja waktuku tak dapat kuhabiskan
hanya untuk hal yang tak pasti, walau demikian aku juga tak cukup pintar untuk
melepas apa yang sudah kupertahankan.
Aku ingin berpositif
ria... Maka, semua sikapmu yang sekarang, dan segala
sosokmu yang kini, bisa disimpulkan bahwa
kini kau tak butuh aku. Benarkah?
Cukup jawab dalam hati. Biar nanti Tuhan
yang menjelaskannya kepadaku.
Mungkin
menghilang sejenak akan membangkitkan rasa rindumu. Walaupun bisa saja aku yang kehilangan dengan resiko akan dirimu
yang beradaptasi tanpa hadirnya aku.
Tak apa.
Sesekali kan kucoba berhenti peduli atas hadirmu. Kamu berhak
bebas. Berhak untuk bernapas dan mendapatkan sedikit ruang untuk terbang. Kamu
adalah burung dara yang bisa terbang bebas. Tak perlu majikan ataupun kandang
untuk mengikat.
Tapi jikalau rindu datang, aku disini. Tak kemanapun aku pergi. Karena disini pun ku juga berjaga-jaga, bila pikir mu tlah kau rubah. Karena aku adalah pelangi, yang selalu akan setia, menunggu hujan
reda.
"Terikat dengan rasa nyaman yang sudah membekas dan terukir, lalu ingin waktu
saat itu berhenti dan kita selamanya
begitu." (Angra)
Komentar
Posting Komentar