Sendiri Dalam Ramai



Kembali aku duduk seorang diri disini. Ditengah kerumunan ramainya mereka. Memikirkan apa-apa saja yang saat ini terpikir di benaknya, atau yang tak terbesit di otak mereka

Aku hanya bisa berfikir, mencari jawaban atau bahkan pertanyaan. Sebut saja ini mengisi kekosongan, kebosanan, ketidak berdayaan.

Lalu sejenak kemudian tersadar... Aku tak akan pernah tau, atau mungkin sebenarnya sangat tau. Ah. Aku hanya termenung duduk. Dan mendapati kalau aku ternyata menikmati semua ini.

Di depanku terbentang jalanan yang sedang ramai dengan sahut-sahutan klakson mobil. Macet dan ramai. Riuh dan berisik. Tanda betapa tak sabar para pengendara yang ada, atau penumpangnya. Motor-motor saling tikung mencari jalan di sela-sela macetnya jalan. 

Jalanan di malam hari kali ini terlihat lebih padat dibanding biasanya. Apakah karena malam ini malam minggu?

Aku masih tetap hanya duduk, di salah satu tempat strategis di kota ini. Lantas sebuah pemikiran konyol pun menyeruak...

Adakah yang menanyakan keberadaanku? Adakah yang tau kegelisahanku? Adakah yang menangkap dan menyampaikannya pada seseorang lain diluar sana? Adakah manusia yang menyadari kesendirianku? Adakah yang lebih sendiri dari aku yang terperangkap sunyi disini? Adakah yang lebih bahagia dari aku disini? 

Dengan kesendirian yang mutlak. Dengan kebahagiaan yang telah mampu aku ciptakan, meskipun sendiri dan susah payah. Jatuh dan bangun. Lalu jatuh, bangun lagi, dan lagi-lagi jatuh. Tak pernah bisa berhenti.

Kadang kesendirian ditengah keriuhan memberikan beragam perasaan. 

Sedih? Mungkin saja, kenapa bisa aku merasa sendiri sementara semua orang yang ada disini berbondong-bondong datang dengan bergandengan tangan. 

Bahagia? Mungkin saja, kenapa kita harus tak bahagia ketika tanpa perlu bergandengan tangan aku bisa menikmati banyak senyum dan tawa disekitar aku. 

Bingung? Bisa saja, bagaimana mungkin aku bisa bahagia tanpa aku tau apa sebabnya, bagaimana mungkin perasaan itu muncul begitu saja hanya karena disebabkan oleh keramaian biasa disekitarku.

Mereka semua bukan teman, bukan saudara. Bahkan tak ada sapa, tak ada teguran. Aku hanya duduk, menyaksikan semuanya berjalan bagai laku yang sangat wajar. 

Kehidupan senantiasa menjadi begitu berarti ketika kita memiliki seseorang yang kita anggap mampu melengkapi kita. Kadang kita merasa kurang karna tak dicintai atau tak mencintai. Merasa tak bahagia karna dimusuhi atau diacuhkan. Merasa tak beruntung karna tak di anggap dan tak disayang. Padahal kita tau, kebahagiaan bukan ciptaan diluar kita. Itu semua ada di dalam hati, dan hati itu tak tersentuh siapapun

Hidup itu kadang lucu, maka tertawa itu cukup. Kadang menyakitkan, maka menangis saja itu sudah pas. Kadang bahagia, maka tersenyum adalah reaksi yang tepat. Namun segala kecukupan, rasa pas, dan ketepatan itu bukan mutlak semata. Ketika kelucuan menyeruak, saya kadang berfikir, apa cukup hanya dengan tertawa. Ketika rasa sakit itu mendadak datang, aku balik mempertanyakan, apa perlu air mata itu?

Ketika kebahagiaan muncul, aku berpendapat, senyum bahkan tak cukup mengapresiasikannya. Maka saat ini aku hanya bisa duduk, menatap sekeliling. Sambil terus bertanya: Apa yang sedang kamu rasakan

Ramai. Bahkan degup ikut ramai disini, mungkin akan terdengar jika disimak benar. Ramai, bahkan suara hati masih bersahutan ingin merangsek keluar. Namun adakah yang mampu mengeluarkan suara hati selain mereka yang lantang dengan keyakinannya. aku ingin berteriak lantang, menembus gendang telinga semua orang. Dan adakah yang mampu selain itu?

Sudah banyak waktu yang telah dilewati. Banyak kejadian yang telah dialami. Banyak kebahagiaan yang telah terjalani. Dan tak mengelak, tak sedikit pula kesedihan yang tak bisa dipungkiri.

Contohnya adalah merasa sendiri. 

Sendiri yang benar-benar terasa menyesakkan sampai bernapas pun terasa sulit. Hingga orang-orang ramai pun tetap bisa membuat kamu terasa asing, sunyi dan hening.

Hidup yang ini ibarat sebuah kaktus dipadang pasir yang sepi. Tanpa punya makhluk lain untuk diajak berjuang menahan panasnya terik matahari, bertahan hidup dengan kejamnya ancaman-ancaman yang ada di padang pasir ini. Sendiri. Tak punya siapa-siapa.

Kaktus ini mungin saja menemukan binatang-binatang lain yang mendekatinya, mencoba bercengkrama dengannya. Namun tentu saja itu semua semu. Itu semua hanyalah fiktif. Itu semua hanyalah ilusi. 

Semuanya ibarat fatamorgana yang tidaklah nyata, sebab mereka yang mendekat itu tidak benar-benar mendekat karena simpati ataupun empati. Hanya menginginkan cairan yang berada didalam tubuh kaktus itu. Air segar yang terkandung di dalam dirinya, maka pikirlah, makhluk mana yang tak menginginkannya?!

Sebutkan satu nama, dan alasan yang dia berikan pastilah hanya statement atas nama simbiosis mutualisme yang penuh dengan kepalsuan.

Pada akhirnya kaktus itupun dimanfaatkan.

Dia tau kalau mereka mendekat karena butuh. Dia tau kalau mereka mendekat karena ada mau. Tapi bagaimana? Kaktus ini sungguh tersiksa oleh sepi hingga rela mati asalkan ditemui siapapun walau cuma sekejap. 

Dimanfaatkan karena dia disiksa kesendirian. Lalu akhirnya binasa, karena di keramaian itu dia tetap saja merasa sendiri. Mati. Tanpa ada yang peduli. Lalu ditutup oleh gersangnya pasir-pasir dan badai gurun yang akan mencabik-cabik setiap makhluk yang ditemuinya.

Aku.

Hanya aku satu satunya orang yang paling bisa mengerti diriku sendiri. Sepertinya memang tak ada orang lain yang mau menemani. Sesuatu yang didekati malah menyakiti. Siapa yang tahan memelukku, sedang tubuhku saja penuh duri. Dan tak ada perasaan lain lagi, kecuali merasa sendiri.

Sial memang. Jika berharap orang yang kamu perhatikan bisa memperhatikan balik setara dengan apa yang kamu berikan untuknya. Ya, anggap saja aku naïf. Mengira hukum karma itu mencakup hal ini.

Semakin kamu menyayangi seseorang, maka seseorang itupun akan balik menyayangi sebesar rasa sayang kita pula.

Tapi tentu saja tidak demikian. Hidup tidak pernah akan bersahabat dengan rencana-rencana dan harapan-harapan yang telah kamu buat. Kejam, dan tak adil. Terutama disaat sendiri, segalanya terasa menjadi semakin berat. Karena kamu seorang diri. Karena kamu tidak punya siapa-siapa. Atau mungkin bermimpi, mempunyai siapa-siapa yang faktanya siapa-siapa itu bahkan tidak menganggapmu ada. Murni sendiri.

Bila demikian, bisa jadi hidup ini menjadi sesuatu yang menakutkan. Bisa jadi apa yang aku butuhkan sebenarnya adalah bukan sesuatu yang pernah aku harapkan, yang aku inginkan. Aku saja tak pernah yakin dengan apa yang aku rasakan. Apa yang aku butuhkan menjadi semakin semu. Menjadi sesuatu bukan air yang mengapung ditengah luasnya lautan. Merasakan hari-hari sepi tanpa berkawan.

Merasa sendiri itu sangatlah menyakitkan!

Apa yang aku alami bukanlah satu-satunya yang terjadi. Aku yakin banyak kaktus-kaktus di luar sana yang merasa begitu sunyi. Mereka punya hati walau cuma batang tanaman yang berduri. Sesuatu yang hidup yang membutuhkan teman sejati. Teman yang benar-benar mengerti. Walau dari perjalanan waktu sesuatu yang dapat menangis, kemudian berlanjut sampai sesuatu itu berubah menjadi sesuatu yang mati. 

Dan nanti mereka bisa menangis saat aku mati, mengenang masa-masa disaat aku ada, dan merasa sendiri saat aku tak ada. Orang yang menyayangi aku. 

Orang yang menganggapku ada, walaupun aku hanylah kaktus berduri yang seorang diri berdiri rapuh ditengah gurun tak bertuan.

Menjadi seseorang yang tak dianggap itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Tidak dianggap ada, tidak dianggap nyata, tidak dianggap hidup, dan tidak diperdulikan. Apa yang terjadi pada kita bukanlah sebuah keharusan untuk mengetahuinya, karena untuk kata mengenal pun sudah lebih dari cukup. Acuh dan riuh. Sakit yang kau buat, takkan pernah bisa sembuh.

Kemudian akan datang perasaan yang tak pernah mendapat suatu ajakan. Benar-benar selalu merasa tercampakkan. Padahal didalam hati tiap-tiap insan itu pasti punya mimpi yang selalu ia citakan. Mimpi indah bersama teman-teman sejati dalam sebuah kebersamaan.

Tapi aku hanya bisa bermimpi. Pada akhirnya aku akan terbangun dan sadar kalau ini takkan terjadi, karena hidupku bukanlah fiksi. Kebersamaan dan kawan itu hanyalah anestasi yang tak boleh dipelihara berlama-lama. Memperdulikan hal yang tak memperdulikanmu itu hanya akan buang-buang waktu.

Ya, logika berkata demikian namun berlawanan dengan perasaan. Maka pada akhirnya tejadi pergolakan batin yang tak kunjung usai, dan disaat otak lelah mencari tahu pihak yang benar, aku yakin ragalah yang akan lebih dulu mencapai titik puncak kelelahan dan berhenti untuk mencari tahu kebenaran tersebut. Dalam kata kata lain, mati. Mati dan berubah menjadi bangkai.

Lalu akan ada saat kamu bersama dengan kedua orang teman kamu. Dimana teman kamu lebih dekat dan nyaman bersama dengan teman kamu, selain kamu. Saat teman kamu menemukan banyak teman baru dan lebih nyaman bersama dengan mereka, dibanding kamu. 

Dan akhirnya kamu cuma bisa menerawang dan menimang-nimang tempo dulu.

Itulah kesendirian yang sebenarnya...

Seseorang mengatakan, bodoh, buta, dan tuli adalah definisi cinta yang sebenarnya. 

Bodoh karena seringkali dengan mengatasnamakan cinta  seseorang mau saja melakukan dan diperlakukan apa saja. 

Buta karena selama seseorang jatuh cinta, ia seperti tidak mau dan tidak ingin melihat kenyataan yang sebenarnya. Ia ingin terus berada dalam ruangan imajinasi cinta yang ingin dilihatnya. 

Tuli karena ketika ia jatuh cinta, ia tidak bisa mendengarkan suara-suara sumbang dari sekitar nya.
Ia hanya peduli pada fatamorgana buatannya, mengesampingkan logika dan mengutamakan perasaannya.

Intinya ketika seseorang jatuh cinta, ia hanya melihat apa yang ingin dilihatnya, mendengarkan apa yang ingin didengarnya, bukan melihat apa yang seharusnya dilihat ataupun mendengar apa yang seharusnya didengarnya.

Aku hanya ingin bilang jatuh cinta itu menyakitkan, makanya aku takut jika benar nanti aku jatuh cinta. Ada yang bilang jatuh cinta itu indah. Jika aku mendengar kalimat itu, aku langsung senyum sinis, 

"Oh, dia baru mengenal cinta."

Mungkin pengalaman yang membuatku menjadi benci akan perasaan jatuh cinta, jatuh cinta bisa membuat kita kehilangan teman, sahabat, ada pula yang kehilangan keluarga hanya karena jatuh cinta... Bahkan Tuhan pun dilupakan. Lalu yang tersisa adalah kita akan sendiri, saat orang yang dicinta beranjak pergi

Intinya sama. Akhirnya adalah diacuhkan oleh orang yang dicinta, sementara kita sendiri mengacuhkan orang lain yang mencintai kita. Sendiri.

Sendiri sampai mati.

 
"Dan nanti mereka bisa menangis saat aku mati, mengenang masa-masa disaat aku ada, dan merasa sendiri saat aku tak ada. Orang yang menyayangi aku." (Angra)

Komentar

Terpopuler

Hari Yang Tak Biasa

Menghilang Sejenak

Musik x Cermin x Hidup