Dariku Untukmu

                                     


Wahai sayangku. dirimu yang tlah mengusik ketentraman diriku. Hampanya diri ini telah dibasuh oleh sucinya sosokmu, bidadari surga yang kuyakin bisa selamatkanku. Dari rusaknya bermuram durja. Dari sepi yang kian semena-mena. Dari gelap malam di hari selasa.

Wahai bidadariku, sayangku, takkan pernah bisa kulupa pertemuan pertama kita. 

Terpesonaku oleh senyum manismu. Terpana ku melihat wajah indahmu. Terpikatku oleh canda tawamu. Memabukkan, mematikan. Hingga tak sadar aku nikmati terbelenggu oleh racunmu. Lemas dan matipun tiada kuberdaya di hadapanmu.

Jadi mengapa kau berada disini? Bisa jadi tuk selamatkanku dari hilangnya sisi humanisku. Atau mungkin sekedar pemanis untuk singgah sejenak, memberi warna pada kosongnya lembaran hidup di bukuku. Terkadang sesekali menggoreskan wajahku dikertasmu, dan sebaliknya akupun goreskan tintaku pada halaman hari-harimu.

Jika boleh maka kupanjatkan mohon jadilah kau langkah-langkah di linimasaku selanjutnya. Tak apa walaupun tuk sementara, Sebab dari awal pertemuanku dan kau, ku tau ada hal yang tak biasa. Dan takkan pernah kita jadi biasa. Setidaknya kau tahu, ku tahu, dan sang Maha juga tahu.

Sekali dua kali, memori ini secara perlahan kau isi. Sekali dua kali, kutahu takkan pernah cukup untuk dinikmati. Lalu ku merasa sungguh tak tahu diri. Menginginkan hal yang tak boleh dimiliki. Jadilah kutahan dan kunikmati sendiri. Bicara seorang diri, belajar ikhlas dalam bertarung melawan gejolak hati. Maju sendiri, lalu saat ku terlalu jauh ku akan mundur sendiri. Bak menahan laju cinta berlari sambil mengikat hati. Seberapa kuat sayang ini kan dibatasi?

Ku tak pernah cukup pintar mengetahui akibat dari riak-riak di sekelilingku. Terkadang aku tenggelam dalam tenangnya aliran sungai di sekitarmu. Tak jarang pula terseret arus derasnya sunyi atas acuh diam bidadari surgaku. Pedih perih bahagia senang ku hantam sambil menari-nari.

Pernah pula merasa tersisihkan dan terkucilkan di malam-malam sunyi, lalu kau sang bidadari hinggap dan selamatkanku dari terbiasa rasa senyap. Kadang kulupa akan arah tujuan, maka kau sang bidadari berbisik dan tunjukkanku jalan menuju bahagia. Kadang kurasakan lelah yang sangat amat, maka kau sang bidadari menyuntikkanku kekuatan bernama semangat. Kadang ku merasa tersisih oleh sibuknya sepi sendiri duniawi, maka kau sang bidadari ingatkanku tuk trus memperjuangkan namamu dihadapan sang Ilahi.

Untuk semua itu... Kuucapkan terima kasih. Sungguh ku ucap beribu ratus juta terima kasih. Terima kasih atas semua waktu yang sukarela kau berikan. Dan terima kasih telah mau berbesar hati menjadi alasan atas ego dalam dadaku, jadikan dirimu alasan untuk terus kuberjalan kedepan. Baik yang kau tau ataupun  kau tiada tau.


"Maka saat nanti ku tlah langkahkan kakiku, harus kau tahu ku takkan mampu tuk kembali." 

"Egoisku buat kau jadi alasan hidupku, maka harus kau tau menyerah bukanlah akhir dari cerita ini."

"Pasrahku kan hancurkan masa laluku, maka harus kau tau dirimu adalah jawaban gelisah dalam hati."

Apakah dibenarkan untuk memelihara dan memupuk rasa ini, tiada yang tahu. Kadang kuterka-terka bahwa kau pun sebenarnya tahu dan juga menerka-nerka. Sebab pandangan dan kata-kata di antara kita takkan pernah berdusta. Senyummu, senyumku, heningnya, dan riuhnya mereka. Tak pernah cukup jelas di bola mata kita.


Oh sayangku... Jika berpura-pura tak tahu adalah jawaban dari definisi kita, maka mencintai dalam diam sudah cukup mewah untuk dikonsumsi. Jadilah ia makananku sehari-hari.


Karena kitalah definisi ironi yang terlambat untuk disadari. Menyebar, menjalar, dan merobek-robek hati. Menghadirkan sebuah untaian kata pada sementaranya rasa ini. 


Mungkinkah kita nanti kan sampai pada mengucap janji? 
Biarkan saja ini mengalir, katanya. Sebab entah sejak kapan dan sampai kapan, tiada yang tahu. Karena sedari tadi namamu tak mau lenyap dari otak kecilku. Tak mampu ku jauh-jauh melangkah pergi lupakanmu.


Kiranya pernah mengecap pahitnya cinta, maka sakitnya dikhianati mungkinkah tak jauh berbeda dibanding mencintai sesuatu yang tak bisa kau miliki. Apakah kau yang kan ajarkanku rasa selain dikhianati? Atau mungkin kau yang buatku tau rasa kehilangan akan hal yang tak kumiliki?


Suatu saat akan tiba saat ku tlah mantap. Maka akan kuucap mantapku dengan hati. Karena kuyakin segala sesuatu yang dari hati, maka kan sampai ke hati jua. Marilah berdoa semoga perasaan ini akan tetap bisa sama. Tetap kuat dalam menjaga ritme gelombang cinta yang silih berganti menghantam. Menjaganya agar tak akan bisa lebih, dan tak juga akan kurang.


Sebab jika kurang, maka kembalilah diriku ke masa-masa suram itu. Dan jikalau lebih, maka kembali lagi ku kan mencuri bahagia dunia surga milik sana.


Marilah berdoa untuk kita... Dariku untukmu, cinta dalam diamku.

"Sesekali pergilah ke stasiun terdekat, lalu lihatlah sepasang rel sedih itu, dan kamu akan paham– rasanya bersisian namun pada ujungnya tak pernah bisa bersama." – @cindyjoviand


Komentar

Terpopuler

Hari Yang Tak Biasa

Menghilang Sejenak

Musik x Cermin x Hidup