Menuju Kekal


Jantungku berdegup kencang dan tak karuan. Aku baru saja melakukan sebuah kesalahan yang dulu pernah kualami. Bedanya hanyalah posisinya saat ini telah dibalik, seolah roda kehidupan memindahkanku yang sebelumnya berada diatas menjadi dibawah. 

Dihajar sebuah perasaan yang dulu telah kuredam, lalu kini semuanya muncul dalam sekaligus bersamaan. Semuanya kembali terulang. Persis seperti sebelumnya... Aku merasa malu, merasa bersalah, dan kecewa terhadap diri sendiri ini.

Kini arah mataku memicing ke arah pergelangan tangan. Aku berada di sebuah persimpangan antara diam di tempat atau maju ke depan.

Apa yang harus kuperbuat untuk menebusnya? Walaupun kata maaf terlontar, dimaafkan terdengar, namun tetap saja diri ini tak bisa berdamai. Aku ingin menghakimi sosok di depan cermin ini. Aku harus mensucikan diri, karena melanjutkan hidup seolah tak terjadi apa-apa kini tidak semudah dulu. Bingung, entah aku harus mengadu kemana...

Tatapan ini semakin lama semakin kosong, seolah tak ada diberikan harapan. Aku tak lagi bisa menangis, maka sekarang aku menampakkan senyuman, bersamaan dengan itu pula kugoreskan sebuah lukisan di nadi kehidupan. Benar saja, luapan endorfin ini segera memberi kehangatan. Sebuah rasa yang tlah lama tak lagi kurasakan. Aku telah melakukan kesalahan fatal hingga kupikir mati adalah jawaban.

Walaupun tahu ini salah, tapi mau bagaimana lagi? Sangat mudah jika mereka-mereka tidak mengalami. Yang paham akan mengamini, yang membaca akan menghakimi, yang tidak tahu takkan pernah peduli, dan akhirnya yang dekat segera menjauhi. Aku telah rasakan semuanya dan mungkin ini waktunya menuai apa yang aku tanam.

Tetes demi tetes cinta terbuang. Gambar yang terbentuk kini membentang panjang. Semakin rajin dan khusyuk diriku dalam menyelami lautan. Tenggelam pun tak lagi kupeduli, karena saat ini senyumku mengembang sembari air mata berlinang. Otakku tak lagi dapat memproses, berhenti bekerja dan akalku hilang.

Aku menyukainya. Tapi aku akui bahwa aku juga takut untuk melakukannya. Pikiranku semakin jauh melayang. Apakah aku bisa pergi lebih jauh dari ini? Ujarku sembari menantang. Terus saja kuulang dan berulang, hingga laut ini terbentang menjadi lebih dalam. Gelisah tanpa henti ini menekan sesak nafasku. Imajiku memohon, cepatlah hidup ini berlalu. 

Samar-samar, aku tersadar bahwa kudapati diri ini sedang berpeluk mesra dengan kematian.

Meski demikian aku tak ada kuasa untuk bisa menghentikan. Tetap saja kulanjutkan, hingga tiap detik yang terbuang menjadi waktu mundur atas hakku akan kehidupan. Padahal aku tergeletak tanpa pertolongan, sekujur tubuhku lemas dan dingin tak tertahankan. Nafasku kian hilang dan tak lagi bisa diperdengarkan. Inikah yang dinamakan hukuman?

Sungguh, aku menyesal.

Andai bisa kuulang, aku takkan melakukan apa yang aku rasakan. Tapi tulisan ini hanyalah seonggok hal fana. Takkan pernah bisa cukup hanya dengan kata-kata. Pergolakan batin ini mengusik tanpa kenal henti, hingga akhirnya ku terlelap dengan harapan takkan terbangun lagi.

Amin.

Komentar

Terpopuler

Hari Yang Tak Biasa

Menghilang Sejenak

Musik x Cermin x Hidup