Rabu Titik Balik
Membaca semua pesan dari dia membuat hati ini berkecamuk hebat. Seluruh
darahku terasa mendidih di dalam pembuluh darahku. Pada serangan kali ini, di tiap kata yang
dikirimkannya telah disusupi kenangan-kenangan kelam. Kenangan yang seharusnya dikubur
dalam-dalam.
Mataku memicing, merekam tiap-tiap bait yang dia tuliskan, takut kalau-kalau aku melewatkan satu hurufpun. Aku sudah lama tak pernah bercakapcakap dengannya, tapi entah bagaimana aku masih bisa mendengar suaranya bergema di telingaku. Tak pelak ini semakin membuat jantungku berpacu dengan
kencang.
Situasi seperti ini sebenarnya bukanlah kali pertama. Ini adalah yang kesekian kalinya aku dihadapkan pada sebuah pilihan antara memaafkan atau mengabaikan. Dan lagi-lagi aku selalu berakhir dengan senyum simpul di akhir pesan-pesan singkat itu.
Situasi seperti ini sebenarnya bukanlah kali pertama. Ini adalah yang kesekian kalinya aku dihadapkan pada sebuah pilihan antara memaafkan atau mengabaikan. Dan lagi-lagi aku selalu berakhir dengan senyum simpul di akhir pesan-pesan singkat itu.
Melihatnya mengemis memohon ampunan adalah sebuah perasaan
yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
Dari isi percakapannya sepertinya kau sudah tak sanggup lagi
memikul rasa bersalah yang terpaku dalam bahumu. Beratnya sudah tak dapat lagi
ditanggung oleh kekuatanmu. Hampir menyerah. Terlontar ucapan berupa sebuah keinginan
untuk mengakhiri hidup, agar dapat mengakhiri lelah.
Aku bisa melihatmu meneteskan air mata saat menulis ini semua. Terisak dan sendirian, tanpa ditemani siapapun. Meratapi nasib yang sudah terlanjur berjalan lebih dari separuh. Penuh dengan rasa frustasi, kau ungkapkan ribuan penyesalan atas semua yang telah terjadi. Memang kita tak bisa menyalahkan keadaan, karena hidup ini sebenarnya adalah sebuah pilihan.
Aku bisa melihatmu meneteskan air mata saat menulis ini semua. Terisak dan sendirian, tanpa ditemani siapapun. Meratapi nasib yang sudah terlanjur berjalan lebih dari separuh. Penuh dengan rasa frustasi, kau ungkapkan ribuan penyesalan atas semua yang telah terjadi. Memang kita tak bisa menyalahkan keadaan, karena hidup ini sebenarnya adalah sebuah pilihan.
Kau sudah menyerah. Meminta ampun. Meminta maaf.
Tapi sayang, aku ternyata masih tak bergeming. Air matamu memecah dan mengalir melewati tubuhku.
Aku yang pernah hancur dan lebur gara-gara ulahnya, luluh
lantak dan tak bersisa. Mengingat saat ku katakan bahwa kita akan bersama
selamanya, lau kau balas saat kau memaksaku untuk mengucap selamat tinggal, kau
membunuhku, dan berbohong tepat didepanku.
Maka dengan ini seolah aku membenarkan segala sesuatu yang
terjatuh dan menimpanya. Aku seperti bersyukur dengan semua tetes air matanya.
Kepedihannya. Nikmat.
Seringai di wajahku seolah menjawab semua isi hatimu.
Seringai di wajahku seolah menjawab semua isi hatimu.
Sayang, aku bukanlah orang yang harus disalahkan jika duniamu
berubah menjadi lebih kelam, kan? Itu adalah salahmu sendiri. Dan sekarang
semuanya telah berbalik. Aku ada di kepalamu. Aku ada di hatimu. Maka bayarlah
harga atas pengkhianatanmu. Karena jujur, aku menyukainya saat kau menangis dan
memanggil-manggil namaku.
Disisi lain, ada sisi hati nuraniku yang kasihan dan ingin
memeluknya. Merangkulnya dan berbisik dengan lembut, “Semuanya akan baik-baik
saja”. Tapi itu semua langsung tersapu dengan ganasnya ucapan pedas yang pernah
terlontar dari bibirnya, “Dari awal, kita itu sampai kapanpun ga akan pernah bisa
menjadi apa-apa.”
Aku menyukainya. Aku menyukai melihatmu menderita.
Entah apa yang akan kau lakukan setelah aku blok nomormu.
Mungkin kau akan melanjutkan hidupmu dengan persaan lega karena sudah
menumpahkannya kepadaku. Atau mungkin setelah ini aku akan mendapat kabar
kepergianmu untuk selamanya.
Bila setelah ini kau tinggallah nama. Maka memang itulah yang paling pantas untuk dirimu. Dengan itu maka penderitaanmu selesai. Maka aku bisa bergerak maju kedepan, tanpa perlu khawatir dibayang-bayangi masa lalu. Pergilah dengan tenang karena sungguh aku ikhlas.
Kejam?
Tidak, sayang, aku tidaklah kejam. Akulah sosok yang terbentuk dari dirimu. Aku sudah pernah menjadi malaikat pelindungmu namun kau campakkan, maka kali ini aku pun akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi penonton terbaik saat karma mengantammu dengan telak.
Bila setelah ini kau tinggallah nama. Maka memang itulah yang paling pantas untuk dirimu. Dengan itu maka penderitaanmu selesai. Maka aku bisa bergerak maju kedepan, tanpa perlu khawatir dibayang-bayangi masa lalu. Pergilah dengan tenang karena sungguh aku ikhlas.
Kejam?
Tidak, sayang, aku tidaklah kejam. Akulah sosok yang terbentuk dari dirimu. Aku sudah pernah menjadi malaikat pelindungmu namun kau campakkan, maka kali ini aku pun akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi penonton terbaik saat karma mengantammu dengan telak.
Perasaan nikmat, ketakutan, dan rasa bersalah beradu padu
secara kontinyu di pagi... Seolah aku menari-nari di bara api.
Sungguh awal yang sangat baik untuk mengawali hari Rabu ini.
Komentar
Posting Komentar